Wednesday, 22 September 2010

Di aTaS SeJaDaH CiNTa

Cinta sesuatu yg indah, anugerah dari Allah jika ia bersulamkan iman dan ia akan semakin kuat bila matlamat insan2 yg bercinta itu hanya untuk mencari keredhaan Allah

ingin aku kongsikan karya Habiburrahman yg bg aku sungguh menyentuh perasaan... x salah kita bercinta.. tapi, biarlah cinta yg berlandaskan cinta pada Allah... aku paling suka ayat yg diungkapkan oleh Zahid dlm suratnya kepada Afirah..


Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.

*******************************************


KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun bahang hidup kota Kufah masih terasa. Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis, “fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha …” (maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya …) Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya bergoncang. Akhirnya ia pengsan


Sementara itu, di pinggir kota tersergam sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan nampak berkerlap-kerlip bagai bintang bertaburan. Rumah itu kepunyaan seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan haiwan ternak yang tak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu jelas kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempersona.


Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta, “in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb al wariq …” (jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar …) Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya.


Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik bait syair yang ia dendangkan.” “Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia bernikah. Kebetulan siang tadi, di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.” “Bagaimana, kau terima atau…?” “Ya sudah pasti aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu mebantu kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.” “Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”


“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling sesuai untuk Afirah adalah Yasir.” “Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.” “Ah . Nanti jika sudah menikahi Afirah, dia pasti juga akan berubah dan taubat! Yang penting dia kaya raya.”


Pada saat yang sama, di sebuah kelab mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling. “bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya. “Be…benarkah?” “Benar. cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!” “Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.” Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya.


Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir, “Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?” Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.


Keesokan harinya. Usai solat Duha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia mahu menziarah saudaranya yang sakit. Zahid berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli buah tangan buat saudaranya yang sakit. Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapak jalan yang membelah kebun kurma itu.


Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara, “Toloong! Toloong!!” Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas. “Toloong! Toloong!!” Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan.


Kuda itu berlari kencang. “Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak boleh dikendalikan!” Mendengar itu Zahid agak cemas. Apa yang harus dia lakukan. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras, “Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!” Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkek dan berhenti seketika. Perempuan yang menunggangnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh.


Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya, “Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?” Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadur hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan, “Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkehel saat jatuh.” “Syukurlah kalau begitu.” Dua mata bening di balik cadur itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona, “Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mahu ke mana Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Takala matanya menatap wajah putih bersih lagi mempersona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya. “Namaku Zahid, aku dari masjid dalam perjalaann menziarahi saudaraku yang sakit.”


“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?” “Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah. “Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!” “Aku mau melanjutkan perjalananku!” Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Jelas Zahid tergamam. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau sudi silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku hadiahkan ini.” Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda. “Tidak usah.” “Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!” Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu beredar sambil menutup kembali mukanya dengan cadur. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.


Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Mengimbau bicara orang tentang kesalehan Zahid.

Seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata, “Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri sarafnya. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku nafikan aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda.

Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.” Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum, “Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.” Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.


Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam solat. Ia tidak tahu bagaimana harus dilakukan kini. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak mampu mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah melingkar kuat dalam relung relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam solat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Telah di cuba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan solat sekhuyuk-nya namun usaha itu sia-sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Maha tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menitis dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau redhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Terisak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.

Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa, menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya sekali lagi dia pengsan.

Menjelang subuh, dia terbangun. Dia tersentak terkejut. Dia belum solat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Dia menangis, menyesal. Biasanya dalam waktu begini dia sudah membaca dua juz dalam solatnya. “Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!” Dia bangkit, lalu berwudhu, dan solat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa, “Ilahi, hamba mohon redha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

Pagi hari, seusai solat dhuha, Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seluruh penjuru kota. Afiah keluar untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari sebalik tirai, ia mendengarkan perbicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah. Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan debaran jawaban ayahnya. Keheningan mencengkam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah, “Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.” Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Dia tidak mampu menyembunyikan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Lalau dia pun pengsan saat itu juga.

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa dijiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pengsan. Ketika keadaannya kritis, seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Dia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah. Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seluruh kota Kufah. Angin pun meniupkan khabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum. Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sedarmu. Tak mampu kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama dan aku inginkan agar kaulah pendamping hidupku selama-lamanya. Zahid, Kalau kau mahu. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengubati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang paling dipercaya. Ia berpesan agar surat itu sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga. Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :

Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki, Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diredhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya. Afirah, Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.

Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )

Afirah, Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang mampu aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya : “Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan lakilaki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).” Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan. Afirah, Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam, Zahid

Begitu membaca jawapan Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang penuh keduniaan. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Serban putih pemberian Zahid ia jadikan sejadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Allah swt. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT. Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :

Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam, Afirah

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah

No comments:

MaHLiGai KaSiHKu


Daisypath Anniversary tickers

Amanah Allah






Daisypath Happy Birthday tickers